Pesatnya perkembangan teknologi telah mengubah cara anak-anak tumbuh dan berinteraksi. Mereka kini hidup di era digital, di mana informasi dan hiburan bisa diakses kapan saja. Dalam kondisi ini, peran orang tua menjadi semakin penting, tidak hanya sebagai pendamping, tetapi juga sebagai pendidik utama. Oleh karena itu, membangun karakter anak di era digital menjadi tantangan sekaligus peluang yang krusial. Karakter yang kuat dan berintegritas adalah fondasi yang akan membimbing mereka menavigasi kompleksitas dunia maya dengan bijak.
Salah satu aspek penting dalam membangun karakter anak adalah mengajarkan literasi digital dan etika. Anak-anak harus diajari bahwa jejak digital mereka bersifat permanen dan apa yang mereka unggah atau katakan di internet dapat memiliki konsekuensi. Orang tua bisa memulai dengan diskusi terbuka tentang pentingnya menjaga privasi dan bersikap sopan di media sosial. Contohnya, pada hari Jumat, 20 Desember 2025, sebuah survei yang dilakukan di SMP Budi Luhur menunjukkan bahwa 75% siswa yang rutin berdiskusi dengan orang tuanya tentang etika digital memiliki pemahaman yang lebih baik tentang risiko perundungan siber (cyberbullying). Ini membuktikan bahwa komunikasi yang efektif adalah kunci.
Selain itu, orang tua juga harus membangun karakter anak dengan menjadi teladan yang baik. Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Jika orang tua sendiri terlalu sering menggunakan gawai atau berperilaku tidak bijak di media sosial, akan sulit untuk mengharapkan anak-anak berperilaku sebaliknya. Oleh karena itu, menetapkan aturan dan batasan penggunaan gawai di rumah adalah hal yang penting. Misalnya, menetapkan “zona bebas gawai” saat makan malam atau meluangkan waktu khusus untuk kegiatan bersama tanpa distraksi digital. Seorang psikolog anak dari Klinik Keluarga Sejahtera yang diwawancarai pada hari Selasa, 10 Desember 2025, menyarankan agar orang tua dan anak-anak membuat perjanjian tertulis tentang aturan penggunaan gawai.
Membangun karakter anak di era digital juga berarti melatih mereka untuk berpikir kritis. Di tengah banjir informasi, anak-anak harus mampu membedakan antara fakta dan fiksi. Orang tua dapat mengajarkan mereka untuk mempertanyakan sumber informasi, memverifikasi berita, dan tidak mudah percaya pada apa yang mereka lihat di internet. Pada tanggal 15 November 2025, seorang petugas dari Komando Siber Polri yang memberikan sosialisasi di sebuah acara komunitas, menjelaskan bagaimana modus penipuan online semakin canggih, dan hanya individu dengan kemampuan berpikir kritis yang dapat menghindarinya.
Sebagai kesimpulan, membangun karakter anak di era digital adalah sebuah proses yang kompleks dan berkelanjutan. Dengan menjadi teladan, berkomunikasi secara terbuka, dan membekali mereka dengan keterampilan literasi digital, orang tua dapat membantu anak-anak tumbuh menjadi individu yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga berintegritas dan bertanggung jawab.